Monday 5 February 2024

Komunikasi dalam media sosial penuh kepalsuan


Sudah sejak lama saya menyukai gaya komunikasi secara langsung; berbicara secara menatapp muka dan mata. Sebab dengan begitu, kita akan mudah menangkap sebuah kejujuran. Mimik wajah akan tersorot dengan spontan manakala ada kebohongan juga yang dapat disingkap.

Komunikasi langsung dengan menatap muka dan mata, di era moden ini kurang mendapat perhatian serius. Dengan kewujudan media sosial, membuat orang enggan atau malas bertemu untuk membicarakan sesuatu. Semua dilakukan melalui layar smartphone. 

Lambat laun, muncul sebuah ketakutan untuk berbicara secara langsung. Terlebih tema yang akan dibahas merupakan persoalan yang sangat serius. Saya menduga, orang-orang zaman kini mempunyai penyakit yang cukup aneh, yakni merasa takut bertemu orang. Atau, merasa tidak layak untuk mengemukakan pendapat secara langsung.

Media sosial, menurut hemat saya, mulai menjatuhkan keberanian banyak orang. Kemudian secara perlahan-lahan telah mematikan semangat hidup untuk terus bersilaturahim atau bertemu, saling menyeimbangi dan megunjungi satu sama lain. Dunia sudah berubah. Kita akan menemukan suatu situasi dunia baru yang sepi kala di kehidupan nyata, tetapi riuh-gaduh di maya.

Kita menjadi pengecut. Menjadi serba takut menghadapi orang lain. Padahal, tidak demikian yang diajarkan agama. Dalam Islam, atau mungkun pada setiap agama, yang dimaksud silaturrahim adalah bertemu wajah dan fisikal. Bukan teks dalam pesan singkat aplikasi yang terdapat di smartphone.

Penegasan itu disampaikan pula oleh salah seorang Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Adib Rofiuddin Izza, saat menghadiri Temu Alumni Buntet Pesantren Cirebon di Hotel Ayong, Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Ahad (31/12).

"Yang namanya silaturahim itu ya ketemu. Bukan lewat hape. Enggak bener itu kalau silaturahim melalui telefon.Sekarang, banyak gaya kalau di dunia maya. Kalau bertemu ustaz, kiai, bukannya minta nasihat tapi minta bergambar berdua.Diposting di media sosial, ditulis seolah-olah merasa paling dekat dengan ulama," kata Ketua Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Buntet Pesantren Cirebon (YLPI-BPC) itu.

Dari keterangan KH Adib di atas, kita bisa simpulkan bahwa melakukan komunikasi melalui smartphone atau berselancar di media sosial hendaknya disulami dengan keaktifan di kehidupan nyata. Kalau tidak, maka tidak akan timbul keberanian.

Dalam bahasa sehari-hari, "Di media sosial galak, aslinya penakut".

Apa jua isu menjadi heboh dalam media sosial sahaja. Parahnya, keriuhan di media sosial menjadi percikan permusuhan yang terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari.

Hampir seluruh hidup kita dipengaruhi media sosial, sehingga saat permusuhan tercipta, kita menjadi lebih enggan bertemu dengan orang lain. Lebih lagi bersua dengan orang yang berbeza pilihan politik.

 Lebih-lebih, di era digital ini. Fitnah dan tuduhan datang melalui media sosial, tidak jelas siapa pelaku dan pembuatnya. Padahal tidak tabayun atau bahkan belum pernah bersentuhan langsung dengan seseorang itu.Ramai menjadi ahli agama jadian,peguam jadian dan polis jadian.Ramai tukang hukum.

Maka, itulah pentingnya berkomunikasi langsung secara tatap muka dan mata. Kita bakal tahu seberapa jujur dan bohongnya lawan bicara. Seperti itu, menurut saya, silaturrahim. Saling memberi senyum keindahan yang menjadi penyejuk jiwa. Sebab, semudah-mudahnya sedekah ialah memberi senyum kepada saudara sendiri.

Kalau di media sosial, memang ada emoticon senyum. Tetapi mungkinkah pemberian emoticon senyum juga berbarengan dengan senyum yang kita sama sekali tidak tahu? Bisa saja tidak demikian.

Maka, media sosial lebih berkecenderungan melahirkan banyak kepalsuan dari komunikasi yang dilangsungkan dengan pertemuan fisik. (Aru Elgete)

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

Chalet kg kemensah

 Hari ini adalah hari yang bermakna sekali dalam hidupku.Dapat keluar berjumpa dengan kawan rapat hampir 3 tahun persahabatan.Allah permudah...